Selama tiga dekade terakhir, desentralisasi/pemekaran merupakan isu yang hangat di negara-negara berkembang, terutama yang berkenaan dengan kekuasaan politik dan ekonomi (Manor, 1999, p. 1). Desentralisasi dianggap sebagai faktor signifikan dalam tercapainya partisipasi demokrasi sampai ke tingkat daerah (Bossuyt & Gould, 2000, p. 4) dan pembagian kekuasaaan ke daerah dalam kerangka perekonomian nasional (Bardhan & Mookherjee, 2006). Desentralisasi juga dianggap sebagai landasan dari struktur tata pemerintahan yang baik di era modern (modern good governance structure) (Goetz, 2000, p. 3). Ada empat tipe desentralisasi yang umumnya kita kenal saat ini yaitu: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi (Muriisa 2008, pp. 85-86).
Tahukah anda, bahwa Indonesia dianggap sebagai “the most decentralised country in the world” (Hofman & Kaiser, 2004, p. 1)? Indonesia juga memenuhi berbagai kriteria untuk mencapai desentralisasi yang efektif seperti sistem politik yang mengijinkan banyak partai, kebebasan media/pers, dan kebebasan berpendapat yang memungkinkan masyarakat di daerah untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah pusat (Keith, 2005, p. 5). Berdasarkan Undang-Undang no. 22 nomor 25 tahun 1999, Indonesia mengadaptasi jenis desentralisasi devolusi (Ahmad & Mansoor, 2000, p. 3). Menurut undang-undang ini, desentraliasi di Indoneisa bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang merakyat; lebih bertanggung jawab; responsif dan akuntabel; kompetitif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat; dan kredibel dalam pengelolaan pajak. Devolusi sendiri adalah sistem desentralisasi yang melakukan transfer kekuasaan, kewenangan dan fungsi secara substansial dari pusat ke daerah dimana pemerintah daerah memiliki wewenang yang signifikan dan independen terhadap keuangan dan legitimasi hukum tanpa intervensi pemerintah pusat.
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah desentralisasi di Indonesia saat ini efektif? Di Indonesia, transfer ke pemerintah daerah mencapai 6% dari PDB, yang 80% diantaranya diturunkan ke level terbawah (kabupaten/kota dan distrik) (Lewis 2014). Hal ini sangat berbeda jauh dibandingkan negara berkembang lain seperti India dan Philipina yang transfer daerahnya hanya mencapai masing-masing 0.4% dan 3% (Lewis, 2014). Namun dari studi terbaru, pemerintah daerah Indonesia tidak menggunakan dana transfer ini dengan efisien dan efektif. Bukti empiris juga menambahkan bahwa spending yang dilakukan oleh pemerintah memiliki efek yang sangat minim terhadap pelayanan bagi masyarakat (Lewis, 2014).Jika kita lihat sektor pendidikan dan kesehatan setelah masa desentralisasi, pendidikan menjadi sektor dengan spending terbesar di Indonesia, mencapai hampir 15% dari total belanja negara tahun 2004 yang mayoritas digunakan di level propinsi (Simatupang, 2009, p. 17). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rentanida Renata Simatupang pada tahun 2009 yang menggunakan data susenas dan podes, pendidikan merupakan sektor yang paling diuntungkan dari desentralisasi dan menghasilkan dampak positif pada indikator-indikator kuantitatifnya. Namun, hal ini tidak terjadi pada sektor kesehatan (pp. 80-81). Indikator-indikator seperti penggunaan fasilitas kesehatan, jumlah kelahiran yang dibantu petugas kesehatan, vaksinasi, konstrasepsi dan beberapa indikator kuantitatif lain justru menurun di beberapa kabupaten (Simatupang, 2009, p. 85-86).
Pada kesimpulannya, dampak dari desentralisasi tidak dapat disamaratakan dengan mudah karena penelitian di berbagai negara membuktikan hasil yang kontradiktif dan berbeda sekalipun diujikan pada sektor yang sama. Di Uganda yang juga menerapkan devolusi misalnya, sektor kesehatan justru mengalami dampak positif, seperti meningkatnya akses masyarakat ke sarana kesehatan (Okidi and Guloba, 2008). Pada prakteknya, desentralisasi memerlukan faktor-faktor dan lingkungan yang mendukung akuntabilitas pemerintah dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan (Kristiansen & Pratikno, 2006, p. 528). Akuntabilitas, kerangka kerja pelayanan masyarakat, dan aparatur negara pelaksana pelayanan masyarakat menjadi kendala-kendala yang harus diberi perhatian khusus. Di banyak penelitian terhadap dampak desentralisasi, kurangnya transparansi dalam penggunaan sumber daya alam; lemahnya pengawasan dan pelaporan keuangan; dan meningkatnya korupsi menjadi masalah yang sering muncul. Bukan hanya pada indikator-indikator kuantitatifnya, pembangunan yang berhasil dan berkelanjutan hendaknya juga memperhatikan indikator-indikator kualitatif, yang pada akhirnya tidak bisa hanya bergantung pada desentralisasi semata, tapi juga pada perbaikan kebijakan nasional yang lebih merakyat.
(Dirangkum dari Essay: Decentralisation in Uganda and Indonesia. A review)