Kemiskinan
merupakan masalah yang selalu muncul dalam proses pembangunan di berbagai
belahan negara di dunia. Pada umumnya kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi
kekurangan atau tidak sejahtera, yang secara konvensional diukur dengan
pendekatan moneter. Seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi
standar tertentu seperti garis kemiskinan atau kebutuhan kalori minimum.
Amartya Sen (1976) mengemukakan sebuah pemikiran yang lebih luas mengenai
kemiskinan dalam konteks pembangunan, bahwa pembangunan memberikan kebebasan
bagi setiap individu untuk memenuhi sejumlah fungsi tertentu di mana fungsi
tersebut terdiri dari berbagai dimensi, sehingga kemiskinan merupakan kegagalan
dalam memenuhi fungsi tersebut. Menurutnya, pendapatan (moneter) merupakan
salah satu dari dimensi tersebut akan tetapi dimensi lain seperti pendidikan,
kesehatan, kebebasan mengemukakan pendapat, partisipasi dalam kegiatan politik dan
lain sebagainya tidak dapat diabaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut,
kemiskinan atau sebaliknya kesejahteraan mulai dipahami sebagai fenomena
multidimensi.
Indonesia
melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan moneter yaitu garis kemiskinan makanan dan nonmakanan sebagai titik
potong antara penduduk miskin dan tidak miskin. Penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan dikategorikan mengalami kemiskinan moneter. Pengukuran dengan
hanya menggunakan dimensi moneter (unidimensional) saja merupakan proksi
kemiskinan yang baik namun tidak mampu menangkap semua aspek
kesejahteraan. Studi yang dilakukan
Franco et. al (2002) di India
menemukan bahwa sebesar 60 persen rumah tangga yang dikategorikan tidak miskin
secara moneter tidak mampu memenuhi fungsi pendidikan (Laderchi, Saith, &
Stewart, 2003). Dengan memperhitungkan dimensi lain dari kemiskinan, dapat
diperoleh gambaran utuh tentang bagaimana rumah tangga dapat bertahan bukan
sekedar apa yang diperolehnya (Finley, 2003).
Dengan
menerapkan metode yang dikembangkan Alkire dan Foster (2007) penelitian ini
bertujuan untuk mengukur tingkat kemiskinan multidimensi di Papua dengan
dimensi, titik potong, dan pembobot yang sama. Dimensi yang digunakan adalah
pendidikan, kesehatan dan nutrisi, serta standar hidup yang masing-masing
dimensi disusun oleh beberapa indikator. Ada beberapa modifikasi yang dilakukan
mengingat keterbatasan informasi yang dapat disediakan oleh sumber data (Survei
Sosial Ekonomi Nasional/ Susenas). Modifikasi pertama pada dimensi pendidikan,
titik potong indikator lama sekolah yang digunakan dalam penelitian sebelumnya
adalah lima tahun sedangkan pada penelitian ini digunakan lama sekolah minimal
sembilan tahun yang disesuaikan dengan program wajib belajar sembilan tahun
oleh pemerintah. Modifikasi kedua pada dimensi kesehatan dan nutrisi digunakan
pendekatan konsumsi kalori dan protein rumah tangga sebagai pengganti indikator
kematian anak dalam rumah tangga dan malnutrisi yang diukur dari body mass index (BMI).
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
mengenai kondisi kemiskinan dalam sudut pandangan multidimensi. Sehingga dapat
memberikan sumbangan terhadap berbagai strategi penanggulangan kemiskinan yang
telah ada.
Oleh: Fransiska Engelina Moko (Kepala Seksi Statistik Kesejahteraan Rakyat)
Selengkapnya Download Publikasi ini
disini